Saturday, 7 September 2013

Hardiknas, Ngapain yah


“Hari itu tidak ada ada perayaan yang berarti,Tidak ada upacara bendera yang harus di ikuti seperti tahun-tahun dulu ketika masih SD. Satu hari sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, di Jakarta, kaum buruh berdemo. Hari itu giliran guru honorer, mahasiswa, berdemo. Namun bagi saya, hari itu lalu lewat seperti hari-hari biasanya. Hari itu tanggal 2 Mei.”
Hari Pendidikan Nasional? Buat apalah kita menambah satu hari peringatan nasional tanpa tambahan liburan? Pertanyaan itu terbersit di benak saya saat menulis kata-kata yang saat ini sudah tertulis di depan mata Pembaca sekalian, beberapa hari menjelang HarDikNas yang bahkan seringkali tanggalnya tidak ditandai khusus dalam kalender karena angkanya tidak berwarna merah.
Iseng membuka Google, saya mengetikkan kata “Hari Pendidikan Nasional” di kotak pencarian. Klik “Enter”. “Ki Hajar Dewantara”, muncul di baris teratas hasil pencarian. Itulah kenapa HARDIKNAS kita peringati tiap tanggal 2 Mei: hari kelahiran Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang pertama.
Oooohhhh begitu. 
Lalu kenapa?
Apa bedanya antara dirayakan ataupun tidak dirayakan? Apa yang berubah dari yang namanya pendidikan?
Apa pengaruhnya bagi kehidupan saya sehari-hari?
“Di saat HARDIKNAS, kita merayakan RUU Perguruan tinggi yang tak kunjung dianggap pantas oleh kami!”, kata seorang mahasiswa imajiner dalam benak saya.
“yah, apa lagi kalau tidak mendiskusikan sistem UN yang terus jadi dilema?”, seorang murid SMA imajiner yang gagal lulus UN menambahkan.
“hey, ini waktunya mengkritisi sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi yang tidak pro-rakyat!”, tambah seorang yang lain.
Berbagai macam pendapat lalu dilontarkan terkait tentang apa yang kita peringati dan rayakan pada Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
Terlepas dari kata orang, semua kalimat tadi saya induksi menjadi beberapa kata: waktunya untuk merefleksikan pendidikan nasional kita.
Ketika kita merefleksikan sesuatu, kita bertanya…
Tentang Pendidikan
Berbagai definisi tentang pendidikan menurut para ahli bisa dengan mudah kita dapatkan ketika kita mengetikkan “definisi pendidikan” dalam situs pencarian manapun di internet.
Langeveld, seorang Doktor di bidang pendidikan dari Universitas Utrecht, Belanda berpendapat: Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
J.J. Rousseau, filsuf yang mashur dengan karena dianggap sebagai seorang yang menjadi pemantik meletusnya Revolusi Prancis berpendapat : Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
Ki Hajar Dewantara, yang ulang tahun hari kelahirannya diperingati sebagai HarDikNas berpendapat: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. 
Banyaknya definisi yang telah diberikan oleh para ahli sedikit banyak  menunjukkan bahwa pendidikan merupakan satu hal yang telah jadi fokus perhatian manusia sepanjang sejarahnya. Selama sejarah manusia masih berlanjut, selama itu pula manusia membuat perubahan, termasuk perubahan tentang pengertian pendidikan. Kalau kita mempertimbangkan globalisasi dan kemajuan pesat pada teknologi informasi yang tarafnya tidak sama dengan di jaman para ahli yang tadi berpendapat, di abad-21 ini, pengertian pendidikan bisa jadi berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Oom-oom ahli pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pendidikan yang kita kenal saat ini tidak terbatas pada pedagogi (pendidikan yang diperuntukkan untuk kanak-kanak ataupun orang yang belum dewasa seperti kata Oom Langeveld, J.J. Rosseau, dan Ki Hajar Dewantara). Kalau benar bahwa pendidikan kita masih persis sama seperti yang dikatakan oleh Oom-oom tadi yaitu ditujukan bagi orang-orang yang belum dewasa saja, coba bertanyalah: apakah orang dewasa tidak perlu lagi dididik? Siapa yang mendidik mereka?
Kegiatan mendidik-dididik pun, tidak lagi terbatas pada ruang kelas ataupun batasan-batasan formal lainnya. Kalau saya seorang mahasiswa fakultas peternakan, apakah saya tidak bisa mempelajari ilmu manajemen, politik, dan ekonomi karena tidak dipelajari dalam kurikulum program studi saya? Atau, kalau saya memakai definisi pendidikan berdasarkan UU.20 tahun 2003, ketika saya tidak sedang dikelas dan tidak ada dosen yang membimbing saya secara terencana, apakah saya tidak bisa mendidik diri saya sendiri melalui percakapan dengan orang lain, eksperimen sosial, dan permainan?
Saat ini kita mengenal pendidikan untuk orang dewasa dan pendidikan sepanjang hayat yang tidak lagi dibatasi oleh usia dan kedewasaan. Pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan kurikulum pendidikan formal saja, melainkan lingkungan belajar. Yang menjadi lingkungan belajar adalah apapun yang ada di sekeliling peserta didik di sepanjang waktunya, yang menjadi batasnya adalah apa yang sejauh ini ingin dia cari tau.
Nah, karena menurut saya tidak ada satupun definisi pendidikan yang telah saya sebutkan di atas benar-benar sama persis dengan pengertian saya tentang pendidikan masa kini, saya mendefinisikan sendiri pendidikan dalam tulisan ini sebagai
Proses penyebaran ilmu dan pengubahan sikap seseorang atau sekumpulan orang melalui upaya pengajaran/transfer ilmu dan pengetahuan dan pelatihan agar yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mampu menjadi mampu.
Pendidikan dan mahasiswa
Kalau kita mengambil contoh di lingkungan kampus kita, menggunakan definisi pendidikan yang telah saya ungkapkan sebelumnya, disadari atau belum, kita bersentuhan dengan pendidikan ketika kita kuliah di ruang kelas, di saat kita duduk di depan laptop, berselancar di lautan informasi bernama internet, membaca buku di perpustakaan, ketika kita melakukan kaderisasi unit dan himpunan, ketika kita mengunjungi sebuah seminar, bahkan ketika kita hanya mengobrol dan berdiskusi dengan seseorang yang bisa jadi siapapun yang masih bisa berkomunikasi lewat berbagai cara tentang apapun yang menarik perhatian kita. Sekali lagi, disadari atau belum, pendidikan itu bukan hanya soal RUU PT, bukan hanya soal sistem UN, bukan hanya soal mengkritik sistem penerimaan mahasiswa baru. Dari contoh-contoh yang telah saya kemukakan, dapat dilihat bahwa pendidikan itu nyata, intim, dan berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari sebagai mahasiswa
Tarik nafas dulu sebentar. Kita berefleksi, lontarkan pertanyaan-pertanyaan lagi.
Kalau semua itu namanya pendidikan, apa yang membedakan antara perkuliahan di bangku kelas dengan kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa kita? Apakah semua itu setara? Kalau setara, kenapa kita harus susah payah membayar uang kuliah? Kenapa kita harus kuliah?
Menurut saya, pendidikan di SD, SMP, SMA, Madrasah, maupun Perguruan Tinggi sampai saat tulisan ini saya tulis, dalam banyak hal memang masih belum bisa tergantikan sepenuhnya. Semua jenjang pendidikan yang disebutkan tadi seringkali diklasifikasikan sebagai pendidikan formal.
Pendidikan formal? Berarti ada pendidikan yang tidak formal?
Ya!
Sebagai mahasiswa, saya terlibat dalam pendidikan formal. Dalam pendidikan formal, sebagian besar peran dan tanggung jawab saya adalah sebagai peserta didik.
Sebagai seorang anak dari dua orang tua saya dan sebagai kakak dari adik-adik saya, saya terlibat dalam pendidikan informal. Saya menjadi seorang peserta didik sekaligus pendidik dalam keluarga saya.
Sebagai salah satu anggota sekaligus pengurus unit kegiatan mahasiswa dan himpunan mahasiswa yang saya ikuti, saya berperan sebagai apa? Saya rasa Pembaca yang budiman sendiri bisa menjawabnya dalam hati.
Kegiatan yang saya lakukan dalam UKM ataupun BEM yang saya ikuti, juga adalah salah satu pendidikan yang saya kecap semasa berkuliah. Kalau sekarang kita mau mencoba melihat kembali UKM dan BEM kita dan membayangkan kegiatan pendidikan yang terjadi disana, apa yang kita lihat?
Apakah Anda melihat hal yang sama dengan yang saya lihat?
Adakah mereka kini nampak seperti sekolah-sekolah kecil?
Saya tertawa ketika menyadari hal itu. Saya sudah menjadi seorang mahasiswa, murid, guru, sekaligus seorang kepala sekolah dalam waktu yang bersamaan!
Pembaca ingin menguji seberapa baik “sekolah kecil” Anda dibanding “sekolah” lain? Yakinkah Anda bahwa “sekolah” Anda tidak bisa lebih baik daripada yang sekarang?
Mari kumpulkan anggota unit dan himpunan Anda, keluarga Anda di Kampus ini, pendidik sekaligus peserta didik dalam “sekolah kecil-sekolah kecil” kita di momen peringatan pendidikan ini. Luangkan waktu barang satu atau beberapa jam untuk berdiskusi, mencari apa yang baik bagi pendidikan kita, atau setidaknya mengecap sesuatu yang menyadarkan kita tentang pendidikan.
Lagi pula  ini cuma satu kali dalam satu tahun kan?

Kenapa harus kita biarkan Hari Pendidikan Nasional untuk kesekian kalinya lewat begitu saja tanpa memberi arti bagi pendidikan kita, bagi diri kita? (Farisi)

0 comments: