Oleh:
Intan Asih Lestari
Pendidikan merupakan sebuah
kebutuhan. Tanpa pendidikan hanya akan ada kebodohan. Tentu kita telah melihat
kesuksesan Jepang dalam mengangkat pendidikan pada taraf yang sejajar dengan
kebutuhan papan, sandang dan pangan. Lebih jauh lagi tinggi rendahnya
pendidikan suatu bangsa mempengaruhi posisinya di mata dunia internasional.
Maka tentu pendidikan harus menjadi top priority setiap orang baik di
dalam keluarga, masyarakat maupun dalam bernegara.
Pendidikan diharapkan akan
menjadi gerbang bagi generasi cemerlang secara keilmuan dan memiliki inovasi
tinggi dalam pengembangan sarana serta prasarana suatu negara. Lebih dalam lagi
pendidikan yang ideal akan melahirkan generasi yang tidak hanya bermental
ilmuwan dan pembaharu tapi memiliki kepribadian yang khas. Kepribadian yang
bersumber dari asas mendasar yang sesuai dengan fitrah insaniah serta
berkarakter kuat dalam memperbaiki kebobrokan umat manusia dari berbagai aspek.
Tentu akhirnya harapan kita adalah generasi dengan kepribadian yang teguh
kepada kebenaran dan bermental pembaharu untuk memperbaiki kerusakan yang
tengah melanda baik secara teknologi maupun sosial-politik.
Potret Buram Pendidikan Kita
Memasuki era globalisasi kita
disuguhkan dengan upaya komersialisasi pendidikan yang berdampak pada
pendidikan yang mahal. Hal ini merambah pada berbagai jenjang pendidikan. Biaya
untuk masuk PAUD sederhana dengan maksimal murid 25 orang saja mencapai Rp 1.5
juta. Untuk jenjang SD dibutuhkan biaya Rp 1-3 juta belum pengutan liar semisal
biaya bangku, ekstrakulikuler, halaman rusak dan sebagainya. Lalu SLTP/SLTA
bisa mencapai Rp 2-5 juta. Bayangkan jika kita memiliki kakak atau adik
diberbagai jenjang pendidikan yang berbeda. Kira-kira berapa biaya yang harus
terkumpul? Tentu tidak sedikit. Masih syukur jika berkualitas. Faktanya,
kualitas pendidikan yang bisa dibilang bagus berbanding lurus dengan harga yang
harus dibayar. Maka tak heran jika semakin sedikit yang mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi karena tersandung himpitan ekonomi.
Sedangkan jika berbicara prestasi
pendidikan. Indonesia tercatat berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara
dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO tahun 2011. Hal ini disebabkan
tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar sebanyak 527.850 anak
atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Sedangkan
pada laporan lain didapati bahwa jumlah siswa miskin di Indonesia mencapai 50
juta siswa. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa SD, 10 juta siswa SMP
dan 7 juta siswa tingkat SMA. Sedikitnya ada 2,7 juta siswa SD dan 2 juta siswa
SMP yang terancam putus sekolah dari data tersebut. (25/07/2011)
Belum lagi dengan infrastruktur
pendidikan yang tidak memadai. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal,
Helmy Faisal Zaini mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen dari 183 kabupaten
teringgal, rata-rata infrastruktur seperti akses jalan, sarana kesehatan,
pendidikan dan listrik masih sangat memprihatinkan (18/06/12). Anehnya, Indonesia
yang memiliki sumber daya alam melimpah tapi masih tidak mampu untuk memberikan
pendanaan secara optimal.
Indonesia
menempati peringkat 124 dari 183 negara menurut laporan UNDP (2011) terkait
peringkat Indeks Pengembangan Manusia meliputi pencapaian pendidikan, kesehatan
dan penghasilan per kepala. Indonesia tampak tertinggal dibandingkan negara
Asia lain seperti Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61) dan
Filipina (112). Hal ini menggambarkan rendahnya kualitas SDM kita.
Menurut laporan
Webometrics (2012) terdapat 50 universitas di Indonesia yang masuk jajaran
kualifikasi terkait konten global yang terindeks oleh Google, jumlah rich
file (pdf, doc, docs dan ppt) yang terindeks di google scholar dan karya
akademik yang terpublikasi di jurnal internasional. Diawali Universitas Gadjah
Mada pada peringkat 379 dunia dan diakhiri Universitas Negeri Padang pada
peringkat 3.725 dunia. Laporan ini mempermudah kita untuk mengukur sejauh mana
peran universitas kita dalam mencetak generasi yang berkualitas. Tentunya kita
belum bisa berbanggakan?
Keran Liberalisasi
Pada
dasarnya, kebijakan pemerintah memiliki peran yang besar dalam privatisasi dan
komersialisasi sektor pendidikan. Sejak tergabung dalam WTO (1995) Indonesia
harus menyepakati perjanjian-perjanjian salah satunya dengan menandatangani
General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi
perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi
dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat,
serta jasa lainnya.
Liberalisasi
sektor pendidikan memberikan keuntungan yang sangat besar. Disebutkan Effendi
bahwa 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp. 126 Triliyun. Inggris
mendapat sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan sekitar 4 persen dari
penerimaan sektor jasa negara.
Di
Indonesia terdapat sejumlah peraturan yang melegitimasi privatisasi pendidikan
misal pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Maka sekolah dibebaskan mencari
biaya bagi operasional sekolah. Menurut pengamat ekonomi Revrisond Bawsir,
privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat bank dunia. Senada dengan Richard
Peet (2002) menyatakan bahwa lembaga-lembaga internasional yang berperan
strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral
yakni IMF, Bank Dunia dan WTO.
Kita
bisa melihat program jangka panjang pendidikan tinggi atau Higher Education
Long Term Strategy (HELTS). Untuk program HELTS IV (2003-2010), Bank Dunia
memberikan pinjaman sebesar US$ 98.267.000 dalam rangka mereformasi pendidikan
tinggi ke arah otonomi yang lebih luas (red.liberalisasi) melalui UU Badan
Hukum Pendidikan (BHP).
Kesimpulan
Penyelesaian
problem pendidikan merupakan wacana yang terus bergulir ditelan waktu. Telah
banyak usaha dalam meningkatkan mutu pendidikan seperti meningkatkan anggaran
pendidikan, memperbaiki manajemen pengelolaan, pemberdayaan guru, dan
sebagainya. Namun hingga kini belum juga memberikan hasil yang berarti. Maka
patut kita sadari tidak cukup hanya memberikan solusi praktis saja tapi juga
solusi untuk menyelesaikan problem pendidikan secara mendasar.
Paradigma
pendidikan harus ditata ulang secara menyeluruh dan perlu dilakukan langkah
sistematis pada aspek paradigma ekonomi sehingga bisa terwujud pendidikan yang
murah, bermutu tinggi, dan islami. Hal ini dapat dimulai dengan mengganti
paradigma kapitalisasi pendidikan dengan islamisasi pendidikan.
Kita
patut merujuk kepada Islam karena sepanjang sejarah telah terbukti Islam mampu
mewujudkan pendidikan ideal yang mencetak generasi gemilang seperti Ibnu Sina
yang meletakan tujuh aturan dasar uji klinis, Ishaq bin Ali Rahawi yang menulis
kode etik kedokteran, Al-Asma’i sebagai ahli hewan dengan karyanya Kitab
tentang Hewan Liar, Kitab tentang Domba dan sebagainya. Ada juga Abu Hanifah
Ahmad bin Dawud Dinawari (828-896 M) yang mendeskripsikan sedikitnya 637
tanaman sejak dari lahir hingga matinya. Pada abad 9 atau 10 M, Abu Bakr Ahmed
bin Ali bin Qays al-Wahsyisyah (sekitar 904 M) menulis kitab Al-Falaha
al-Nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di
dunia, antara lain terkait teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya
ke atas hingga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik beliau disebut
“Nabatean Agriculture”.
Generasi
cemerlang lainnya seperti Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan kitab
al-Jami fi Al-Adawiy al-Mufrada yang merupakan kompilasi botani terbesar selama
berabad-abad. Kitabnya memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan dan
obat yang 300 diantaranya penemuannya sendiri. Beliau juga meneliti anatomi
hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, hingga istilah Arab untuk ilmu
ini menggunakan namanya.
Masih
banyak lagi cendekiawan muslim yang menjadi mutiara dikala sistem pendidikan
diletakan diatas pondasi Islam. Tidak hanya kaum muslimin, warga non muslim pun
dapat menikmati jenjang pendidikan sebagaimana kaum muslimin. Hal itu terjadi
karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam bukan bagi kaum muslim saja.
Mereka pun tidak hanya memiliki keahlian yang mumpuni namun juga memiliki
kepribadian yang kuat yakni kepribadian islam yang menjadi kontrol diri yang
paling kuat. Perpaduan antara keimanan dan ilmu yang kokoh telah membawa mereka
kepada kegemilangan dan sejatinya hal itu dapat kita wujudkan kembali dengan
menapaki jalan tersebut yakni kembali kepada Islam secara menyeluruh.
Maka
masihkah kita mau berharap kepada sistem kapitalis liberal yang justru
menjadikan pendidikan sebagai komoditas pasar. Masihkah kita mau percaya dan
berharap?
Wawlahu’alam bi Shawwab
0 comments:
Post a Comment