“Hari itu tidak ada ada perayaan yang berarti,Tidak
ada upacara bendera yang harus di ikuti seperti tahun-tahun dulu ketika masih
SD. Satu hari sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, di Jakarta, kaum
buruh berdemo. Hari itu giliran guru honorer, mahasiswa, berdemo. Namun bagi
saya, hari itu lalu lewat seperti hari-hari biasanya. Hari itu tanggal 2 Mei.”
Hari Pendidikan Nasional? Buat apalah kita menambah satu
hari peringatan nasional tanpa tambahan liburan? Pertanyaan itu terbersit di benak saya saat menulis
kata-kata yang saat ini sudah tertulis di depan mata Pembaca sekalian, beberapa
hari menjelang HarDikNas yang bahkan seringkali tanggalnya tidak ditandai
khusus dalam kalender karena angkanya tidak berwarna merah.
Iseng membuka Google, saya mengetikkan kata “Hari
Pendidikan Nasional” di kotak pencarian. Klik “Enter”. “Ki Hajar
Dewantara”, muncul di baris teratas hasil pencarian. Itulah kenapa HARDIKNAS kita peringati tiap tanggal 2
Mei: hari kelahiran Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang
pertama.
Oooohhhh begitu.
Lalu kenapa?
Apa bedanya antara dirayakan ataupun tidak dirayakan? Apa
yang berubah dari yang namanya pendidikan?
Apa pengaruhnya bagi kehidupan saya sehari-hari?
“Di saat HARDIKNAS, kita merayakan RUU Perguruan tinggi
yang tak kunjung dianggap pantas oleh kami!”, kata seorang mahasiswa imajiner
dalam benak saya.
“yah, apa lagi kalau tidak mendiskusikan sistem UN yang
terus jadi dilema?”, seorang murid SMA imajiner yang gagal lulus UN
menambahkan.
“hey, ini waktunya mengkritisi sistem penerimaan
mahasiswa baru perguruan tinggi yang tidak pro-rakyat!”, tambah seorang yang
lain.
Berbagai macam pendapat lalu dilontarkan terkait tentang
apa yang kita peringati dan rayakan pada Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
Terlepas dari kata orang, semua kalimat tadi saya induksi
menjadi beberapa kata: waktunya untuk merefleksikan pendidikan nasional kita.
Ketika kita merefleksikan sesuatu, kita bertanya…
Tentang Pendidikan
Berbagai definisi tentang pendidikan menurut para ahli
bisa dengan mudah kita dapatkan ketika kita mengetikkan “definisi pendidikan”
dalam situs pencarian manapun di internet.
Langeveld, seorang Doktor di bidang pendidikan dari
Universitas Utrecht, Belanda berpendapat: Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau
lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang
dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan
ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
J.J. Rousseau, filsuf yang mashur dengan karena dianggap
sebagai seorang yang menjadi pemantik meletusnya Revolusi Prancis berpendapat :
Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak,
akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
Ki Hajar Dewantara, yang ulang tahun hari kelahirannya diperingati
sebagai HarDikNas berpendapat: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Banyaknya definisi yang telah diberikan oleh para ahli
sedikit banyak menunjukkan bahwa pendidikan merupakan satu hal yang telah
jadi fokus perhatian manusia sepanjang sejarahnya. Selama sejarah manusia masih
berlanjut, selama itu pula manusia membuat perubahan, termasuk perubahan
tentang pengertian pendidikan. Kalau kita mempertimbangkan
globalisasi dan kemajuan pesat pada teknologi informasi yang tarafnya tidak
sama dengan di jaman para ahli yang tadi berpendapat, di abad-21 ini, pengertian
pendidikan bisa jadi berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Oom-oom ahli
pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pendidikan yang kita kenal saat ini tidak terbatas pada
pedagogi (pendidikan yang diperuntukkan untuk kanak-kanak ataupun orang yang
belum dewasa seperti kata Oom Langeveld, J.J. Rosseau, dan Ki Hajar Dewantara).
Kalau benar bahwa pendidikan kita masih persis sama seperti yang dikatakan oleh
Oom-oom tadi yaitu ditujukan bagi orang-orang yang belum dewasa saja, coba bertanyalah:
apakah orang dewasa tidak perlu lagi dididik? Siapa yang mendidik mereka?
Kegiatan mendidik-dididik pun, tidak lagi terbatas pada
ruang kelas ataupun batasan-batasan formal lainnya. Kalau saya seorang
mahasiswa fakultas peternakan, apakah saya tidak bisa mempelajari ilmu
manajemen, politik, dan ekonomi karena tidak dipelajari dalam kurikulum program
studi saya? Atau, kalau saya memakai definisi pendidikan berdasarkan UU.20 tahun 2003, ketika saya tidak sedang dikelas
dan tidak ada dosen yang membimbing saya secara terencana, apakah saya tidak bisa mendidik diri
saya sendiri melalui percakapan dengan orang lain, eksperimen sosial, dan
permainan?
Saat ini kita mengenal pendidikan untuk orang dewasa dan
pendidikan sepanjang hayat yang tidak lagi dibatasi oleh usia dan kedewasaan.
Pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan kurikulum pendidikan formal
saja, melainkan lingkungan belajar. Yang menjadi lingkungan belajar adalah
apapun yang ada di sekeliling peserta didik di sepanjang waktunya, yang menjadi
batasnya adalah apa yang sejauh ini ingin dia cari tau.
Nah, karena menurut saya tidak ada satupun definisi
pendidikan yang telah saya sebutkan di atas benar-benar sama persis dengan
pengertian saya tentang pendidikan masa kini, saya mendefinisikan sendiri
pendidikan dalam tulisan ini sebagai
Proses
penyebaran ilmu dan pengubahan sikap seseorang atau sekumpulan orang melalui
upaya pengajaran/transfer ilmu dan pengetahuan dan pelatihan agar yang tadinya
tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mampu menjadi mampu.
Pendidikan dan mahasiswa
Kalau kita mengambil contoh di lingkungan kampus kita,
menggunakan definisi pendidikan yang telah saya ungkapkan sebelumnya, disadari
atau belum, kita bersentuhan dengan pendidikan ketika kita kuliah di ruang kelas,
di saat kita duduk di depan laptop, berselancar di lautan informasi bernama
internet, membaca buku di perpustakaan, ketika kita melakukan kaderisasi unit
dan himpunan, ketika kita mengunjungi sebuah seminar, bahkan ketika kita hanya
mengobrol dan berdiskusi dengan seseorang yang bisa jadi siapapun yang masih
bisa berkomunikasi lewat berbagai cara tentang apapun yang menarik perhatian
kita. Sekali lagi, disadari atau belum, pendidikan itu bukan hanya soal RUU PT,
bukan hanya soal sistem UN, bukan hanya soal mengkritik sistem penerimaan
mahasiswa baru. Dari contoh-contoh yang telah saya kemukakan, dapat dilihat
bahwa pendidikan itu nyata, intim, dan berpengaruh
pada kehidupan kita sehari-hari sebagai mahasiswa.
Tarik nafas dulu sebentar. Kita berefleksi, lontarkan
pertanyaan-pertanyaan lagi.
Kalau semua itu namanya pendidikan, apa yang membedakan
antara perkuliahan di bangku kelas dengan kegiatan-kegiatan organisasi
mahasiswa kita? Apakah semua itu setara? Kalau setara, kenapa kita harus susah
payah membayar uang kuliah? Kenapa kita harus kuliah?
Menurut saya, pendidikan di SD, SMP, SMA, Madrasah,
maupun Perguruan Tinggi sampai saat tulisan ini saya tulis, dalam banyak hal
memang masih belum bisa tergantikan sepenuhnya. Semua jenjang pendidikan yang
disebutkan tadi seringkali diklasifikasikan sebagai pendidikan formal.
Pendidikan formal? Berarti ada pendidikan yang tidak
formal?
Ya!
Sebagai mahasiswa, saya terlibat dalam pendidikan formal. Dalam pendidikan formal,
sebagian besar peran dan tanggung jawab saya adalah sebagai peserta didik.
Sebagai seorang anak dari dua orang tua saya dan sebagai
kakak dari adik-adik saya, saya terlibat dalam pendidikan informal. Saya menjadi seorang peserta
didik sekaligus pendidik dalam keluarga saya.
Sebagai salah satu anggota sekaligus pengurus unit
kegiatan mahasiswa dan himpunan mahasiswa yang saya ikuti, saya berperan
sebagai apa? Saya rasa Pembaca yang budiman sendiri bisa menjawabnya dalam
hati.
Kegiatan yang saya lakukan dalam UKM ataupun BEM yang
saya ikuti, juga adalah salah satu pendidikan yang saya kecap semasa berkuliah.
Kalau sekarang kita mau mencoba melihat kembali UKM dan BEM kita dan
membayangkan kegiatan pendidikan yang terjadi disana, apa yang kita lihat?
Apakah Anda melihat hal yang sama dengan yang
saya lihat?
Adakah mereka kini nampak seperti sekolah-sekolah kecil?
Saya tertawa ketika menyadari hal itu. Saya sudah menjadi
seorang mahasiswa, murid, guru, sekaligus seorang kepala sekolah dalam waktu
yang bersamaan!
Pembaca ingin menguji seberapa baik “sekolah kecil” Anda
dibanding “sekolah” lain? Yakinkah Anda bahwa “sekolah” Anda tidak bisa lebih
baik daripada yang sekarang?
Mari kumpulkan anggota unit dan himpunan Anda, keluarga
Anda di Kampus ini, pendidik sekaligus peserta didik dalam “sekolah kecil-sekolah
kecil” kita di momen peringatan pendidikan ini. Luangkan waktu barang satu atau
beberapa jam untuk berdiskusi, mencari apa yang baik bagi pendidikan kita, atau
setidaknya mengecap sesuatu yang menyadarkan kita tentang pendidikan.
Lagi pula ini cuma
satu kali dalam satu tahun kan?
Kenapa harus kita biarkan Hari Pendidikan
Nasional untuk kesekian kalinya lewat begitu saja tanpa memberi arti bagi
pendidikan kita, bagi diri kita? (Farisi)