Tuesday 12 March 2013

Mari Berkarya, Ayo Menulis !

 ’’Jika kamu bukan seorang yang kaya raya (konglomerat) atau seorang ulama besar, jadilah seorang penulis’’Al-ghazali
Sepertinya satu kalimat dari Al-ghazali di atas sudah cukup menjelaskan bahwa semua orang dapat menulis, tidak melulu konglomerat, ulama besar, atau sebagian kalangan saja yang bisa menulis, semua orang dapat menulis. Dan dari kalimat Al-ghazali diatas juga patut menjadi bahan renungkan bagi paramahasiswa, mengingat masih rendahnya minat membaca dan menulis di kalangan mahasiswa Indonesia. Terdapat danyak survey yang mencerminkan bahwa tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan tradisi membaca, terlebih di kalangan anak muda. Oleh karena itu, membumikan kembali semangat membaca dan menulis di kalangan mahasiswa,yang sering disebut agen perubahan bagi bangsa indonesia, yang tidak jarang sering di andalkan oleh masyarakat untuk mengritisi pemeritah karena statusnya sebagai kaum terpelajar yang masih idealis. Mahasiswa adalah agen perubahan. Menjadi mahasiswa artinya harus siap terlibat dalam perubahan itu. Jalan untuk perubahan salah satunya bisa dilakukan dengan cara menulis. Ide dan gagasan fresh perlu dituangkan dalam bentuk tulisan, dalam rangka mewujudkan perubahan itu, perubahan ke arah yang lebih baik tentunya.
Kegiatan tulis-menulis adalah kegiatan yang sangat bermanfaat, sangat bermanfaat. Menulis akan mempertajam daya analisis kita terhadap suatu persoalan. Dengan menulis, otak kita akan terasah, yang akhirnya menjadi tajam dan kritis dan sekaligus membuat ilmu pengetahuan kita semakin bertambah karena bila kita menulis pastilah kita membaca.
Mengutip kata-kata Akhadiah dkk. (1988: 1-2), menulis mempunyai banyak manfaat, dari kegiatan menulis kita dapat mengembangkan berbagai gagasan. Kita dipaksa bernalar, menghubung-hubungkan serta membandingkan fakta-fakta yang mungkin tidak pernah kita lakukan jika kita tidak menulis.Menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat. Dengan demikian, kita dapat menjelaskan permasalahan yang semula masih samar. Kegiatan menulis juga memaksa kita lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang kita tulis. Dengan demikian kegiatan menulis memperluas wawasan baik secara teoretis maupun mengenai fakta-fakta yang berhubungan. Dan juga dengan menulis kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita. Kita mengetahui sampai di mana pengetahuan kita tentang suatu topik. Untuk mengembangkan topik itu kita terpaksa berpikir, menggali pengetahuan dan pengalaman yang kadang tersimpan di alam bawah sadar. Dan tentu saja kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib.

Ajaran Islam
Dalam proses perkuliahan, tidak jarang mahasiswa di hadapkan pada teks-teks dan jurnal-jurnal, yang notabene merupakan hasil karya-karya orang lain. Sayangnya, hanya sedikit mahasiswa yang menuangkan ilmu-ilmu yang didapatkanya dari membaca ke dalam bentuk tulisan-tulisan karya meraka sendiri, yang tentu saja di muatkan opini-opini luar biasa mereka. Padahal, di ajaran Islam sudah sejak lama mengajarkan kita supaya tidak hanya membaca tetapi juga menulis.
Sudah kita ketahui bersama, dalam ajaran agama Islam perintah untuk membaca dan menulis sudah dijelaskan sejak wahyu yang pertama kali turun yaitu Surat Al Alaq yang berisi perintah untuk membaca dan Surat Al Qalam yang berisi perintah untuk menulis. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang ilmiah dan sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.

Perhatian khusus Islam terhadap ilmu pengetahuan juga telah menghantarkan peradaban Islam menjadi puncak peradaban termaju dunia dimasa silam, tentu saja terlebih bidang ilmu pengetahuan nya. Tidak sedikit para cendikiawan-cendikiawan besar islam, yang namanya telah tertulis oleh tinta emas peradaban dunia. Sebut sajapara ulama besar seperti Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan ulama besar lainnya yang merupakan seorang penulis. Mereka adalah orang-orang yang ’’hobi’’ menuliskan pendapat atau pandangan dan gagasan mereka terhadap suatu hal ke dalam bentuk tulisan.Namun, seiring berjalannya waktu semangat itu nampaknya semakin luntur, tidak terkecuali semangat menulis mahasiswa. Entah alasan apa,  saat ini sedikit sekali mahasiswa yang mau menuangkan pemikiran  kreatifnya ke dalam bentuk tulisan.
Sebenarnya untuk bisa menulis, tidak butuh banyak modal, hanya butuh ilmu pengetahuan, inspirasi, kemauan, dan tangan. Setiap orang pasti memiliki ilmu pengetahuan, apalagi untuk ukuran mahasiswa. Pihak kampus atau Universitas pasti sudah menyediakan buku-buku sebagai sarana mendapatkan pengetahuan, misalnya perpustakaan. Jadi, tidak ada masalah dalam hal ini. Dan untuk inspirasi, kita bisa mendapatkannya dari  lingkungan sekitar. Misalnya melalui teman, dosen, tokoh, dan pakar. Fenomena atau realitas sosial di lingkungan sekitar juga bisa dijadikan sumber inspirasi untuk menulis. Banyak bahan inspirasi yang bisa kita dapatkan sebagai modal untuk menulis. Dan untuk Persoalan kemauan memang menjadi persoalan yang sangat penting dan menentukan. Menurut saya, mahasiswa sebagai anak muda yang memiliki kemauan kuat untuk menulis, pengetahuan dan inspirasi akan mengikutinya. Artinya, pencarian pengetahuan dan inspirasi bukan menjadi hambatan jika ditopang dengan kemauan kuat mahasiswa. Karena pada dasarnya, kita mencari pengetahuan dan inspirasi tidak terlepas dari kemauan yang kuat dari diri kita. Kemauan itu akan menggerakkan langkah dan upaya kita mendapatkan  sesuatu. Dan terakhir untuk tangan, tidak jarangada penulis terkenal yang merupakan orang yang tidak punya tangan ataupun tidak lagi mempunyai tangan, jadi intinya ketidak adaannya bukan penghambat untuk bisa berkarya (menulis). Maka akan saya ralat, untuk bisa menulis kita hanya butuh ilmu pengetahuan, inspirasi, dan kemauan tentu saja.

Penonton yang acuh
Sering kita saksikan tidak sedikit mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa, yang suka menyibukan diri mereka dengan urusan dan kepentingan mereka sendiri. Penonton-pasif-individualis mungkin bisa mewaliki. Mereka seakan tidak mau tahu akan lingkungan sekitar, baik masalah sosial disekitar mereka, apalagi persoalan-persoalan bangsa yang bersifat serius, tidak mereka respons atau kritisi secara cerdas setidaknya bahkan hanya dalam bentuk tulisan. Inilah butki ketidak tahu dirian mahasiswa. Padalah bila keluar dari topik, mahasiwa bisa kuliah itu bukan semata-mata dari biaya mereka sendiri, sebagian besar biaya kuliah mereka itu dibiayai oleh negara, dan tentu saja uang negara adalah uang rakyat, sejatinya meraka itulah wakil rakyat yang sebenarnya. Maka berkontribusi bagi negara dan bangsa bukanlah suatu pilihan, melainkan suatu kewajiban, setidaknya bagi meraka yang masih mempunyai rasa malu didalam dirinya.
Banalitas mahasiswa akan menciptakan anak bangsa (para mahasiswa)sebagai anak muda yang cenderung haynya menonton, hanyut, dan menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan padanya. Dengan tidak lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya dan mencoba melawan. Inilah manusia fatalis, yang pernah penulis baca dalam sebuah buku, yaitu manusia yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), manusia yang ’’terlena dalam kesadaran’’ dan hanyut dalam logikanya.
Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit mahasiswa saat ini menjelma menjadi manusia fatalis yang terserap ke dalam berbagai dunia (musik, fashion, komoditi, gaya hidup), dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Kalau sudah begini, mahasiswa tersebut sudah menjadi mayoritas yang diam, yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi dan mereka hanya dapat menyerap segala sesuatu yang disodorkan kepadanya tanpa mampu mefilter, mengkritisi dan memaknainya secara jernih dan bermakna. Akibatnya semangat membaca, apalagi menulis menjadi sangat rendah.
Maka dalam rangka mendorong minat membaca dan menulis mahasiswa di masa depan agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, sifat fatalis, didalam budaya kampus. Mahasiswa harus dapat menciptakan budaya tandingan, sehingga akan tercipta budaya kampus yang lebih produktif, kreatif, dan inovatif, yang di dalamnya “manusia-manusia kampus”  tidak lagi menjadi ’’subjek pasif’’ agen perubahan.
Jadi tunggu apalagi? Mulai menulis dari sekarang, Para agen perubahan bangsa Indonesia! (FA)

1 comments:

Asep Sugih Nugraha said...
This comment has been removed by the author.