Saturday 7 September 2013

PENDIDIKAN MAHAL: CERMIN LIBERALISASI PENDIDIKAN


Oleh: Intan Asih Lestari
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Tanpa pendidikan hanya akan ada kebodohan. Tentu kita telah melihat kesuksesan Jepang dalam mengangkat pendidikan pada taraf yang sejajar dengan kebutuhan papan, sandang dan pangan. Lebih jauh lagi tinggi rendahnya pendidikan suatu bangsa mempengaruhi posisinya di mata dunia internasional. Maka tentu pendidikan harus menjadi top priority setiap orang baik di dalam keluarga, masyarakat maupun dalam bernegara.
Pendidikan diharapkan akan menjadi gerbang bagi generasi cemerlang secara keilmuan dan memiliki inovasi tinggi dalam pengembangan sarana serta prasarana suatu negara. Lebih dalam lagi pendidikan yang ideal akan melahirkan generasi yang tidak hanya bermental ilmuwan dan pembaharu tapi memiliki kepribadian yang khas. Kepribadian yang bersumber dari asas mendasar yang sesuai dengan fitrah insaniah serta berkarakter kuat dalam memperbaiki kebobrokan umat manusia dari berbagai aspek. Tentu akhirnya harapan kita adalah generasi dengan kepribadian yang teguh kepada kebenaran dan bermental pembaharu untuk memperbaiki kerusakan yang tengah melanda baik secara teknologi maupun sosial-politik.
Potret Buram Pendidikan Kita
Memasuki era globalisasi kita disuguhkan dengan upaya komersialisasi pendidikan yang berdampak pada pendidikan yang mahal. Hal ini merambah pada berbagai jenjang pendidikan. Biaya untuk masuk PAUD sederhana dengan maksimal murid 25 orang saja mencapai Rp 1.5 juta. Untuk jenjang SD dibutuhkan biaya Rp 1-3 juta belum pengutan liar semisal biaya bangku, ekstrakulikuler, halaman rusak dan sebagainya. Lalu SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 2-5 juta. Bayangkan jika kita memiliki kakak atau adik diberbagai jenjang pendidikan yang berbeda. Kira-kira berapa biaya yang harus terkumpul? Tentu tidak sedikit. Masih syukur jika berkualitas. Faktanya, kualitas pendidikan yang bisa dibilang bagus berbanding lurus dengan harga yang harus dibayar. Maka tak heran jika semakin sedikit yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi karena tersandung himpitan ekonomi.      
Sedangkan jika berbicara prestasi pendidikan. Indonesia tercatat berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO tahun 2011. Hal ini disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Sedangkan pada laporan lain didapati bahwa jumlah siswa miskin di Indonesia mencapai 50 juta siswa. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa SD, 10 juta siswa SMP dan 7 juta siswa tingkat SMA. Sedikitnya ada 2,7 juta siswa SD dan 2 juta siswa SMP yang terancam putus sekolah dari data tersebut. (25/07/2011)
Belum lagi dengan infrastruktur pendidikan yang tidak memadai. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal Zaini mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen dari 183 kabupaten teringgal, rata-rata infrastruktur seperti akses jalan, sarana kesehatan, pendidikan dan listrik masih sangat memprihatinkan (18/06/12). Anehnya, Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah tapi masih tidak mampu untuk memberikan pendanaan secara optimal.
            Indonesia menempati peringkat 124 dari 183 negara menurut laporan UNDP (2011) terkait peringkat Indeks Pengembangan Manusia meliputi pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala. Indonesia tampak tertinggal dibandingkan negara Asia lain seperti Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61) dan Filipina (112). Hal ini menggambarkan rendahnya kualitas SDM kita.
Menurut laporan Webometrics (2012) terdapat 50 universitas di Indonesia yang masuk jajaran kualifikasi terkait konten global yang terindeks oleh Google, jumlah rich file (pdf, doc, docs dan ppt) yang terindeks di google scholar dan karya akademik yang terpublikasi di jurnal internasional. Diawali Universitas Gadjah Mada pada peringkat 379 dunia dan diakhiri Universitas Negeri Padang pada peringkat 3.725 dunia. Laporan ini mempermudah kita untuk mengukur sejauh mana peran universitas kita dalam mencetak generasi yang berkualitas. Tentunya kita belum bisa berbanggakan?
Keran Liberalisasi
            Pada dasarnya, kebijakan pemerintah memiliki peran yang besar dalam privatisasi dan komersialisasi sektor pendidikan. Sejak tergabung dalam WTO (1995) Indonesia harus menyepakati perjanjian-perjanjian salah satunya dengan menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa lainnya.
            Liberalisasi sektor pendidikan memberikan keuntungan yang sangat besar. Disebutkan Effendi bahwa 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp. 126 Triliyun. Inggris mendapat sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara.
            Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan yang melegitimasi privatisasi pendidikan misal pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Maka sekolah dibebaskan mencari biaya bagi operasional sekolah. Menurut pengamat ekonomi Revrisond Bawsir, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat bank dunia. Senada dengan Richard Peet (2002) menyatakan bahwa lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yakni IMF, Bank Dunia dan WTO.
            Kita bisa melihat program jangka panjang pendidikan tinggi atau Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Untuk program HELTS IV (2003-2010), Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar US$ 98.267.000 dalam rangka mereformasi pendidikan tinggi ke arah otonomi yang lebih luas (red.liberalisasi) melalui UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Kesimpulan
            Penyelesaian problem pendidikan merupakan wacana yang terus bergulir ditelan waktu. Telah banyak usaha dalam meningkatkan mutu pendidikan seperti meningkatkan anggaran pendidikan, memperbaiki manajemen pengelolaan, pemberdayaan guru, dan sebagainya. Namun hingga kini belum juga memberikan hasil yang berarti. Maka patut kita sadari tidak cukup hanya memberikan solusi praktis saja tapi juga solusi untuk menyelesaikan problem pendidikan secara mendasar.
            Paradigma pendidikan harus ditata ulang secara menyeluruh dan perlu dilakukan langkah sistematis pada aspek paradigma ekonomi sehingga bisa terwujud pendidikan yang murah, bermutu tinggi, dan islami. Hal ini dapat dimulai dengan mengganti paradigma kapitalisasi pendidikan dengan islamisasi pendidikan.
            Kita patut merujuk kepada Islam karena sepanjang sejarah telah terbukti Islam mampu mewujudkan pendidikan ideal yang mencetak generasi gemilang seperti Ibnu Sina yang meletakan tujuh aturan dasar uji klinis, Ishaq bin Ali Rahawi yang menulis kode etik kedokteran, Al-Asma’i sebagai ahli hewan dengan karyanya Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Domba dan sebagainya. Ada juga Abu Hanifah Ahmad bin Dawud Dinawari (828-896 M) yang mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari lahir hingga matinya. Pada abad 9 atau 10 M, Abu Bakr Ahmed bin Ali bin Qays al-Wahsyisyah (sekitar 904 M) menulis kitab Al-Falaha al-Nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain terkait teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik beliau disebut “Nabatean Agriculture”.
            Generasi cemerlang lainnya seperti Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan kitab al-Jami fi Al-Adawiy al-Mufrada yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitabnya memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan dan obat yang 300 diantaranya penemuannya sendiri. Beliau juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, hingga istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
            Masih banyak lagi cendekiawan muslim yang menjadi mutiara dikala sistem pendidikan diletakan diatas pondasi Islam. Tidak hanya kaum muslimin, warga non muslim pun dapat menikmati jenjang pendidikan sebagaimana kaum muslimin. Hal itu terjadi karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam bukan bagi kaum muslim saja. Mereka pun tidak hanya memiliki keahlian yang mumpuni namun juga memiliki kepribadian yang kuat yakni kepribadian islam yang menjadi kontrol diri yang paling kuat. Perpaduan antara keimanan dan ilmu yang kokoh telah membawa mereka kepada kegemilangan dan sejatinya hal itu dapat kita wujudkan kembali dengan menapaki jalan tersebut yakni kembali kepada Islam secara menyeluruh.
            Maka masihkah kita mau berharap kepada sistem kapitalis liberal yang justru menjadikan pendidikan sebagai komoditas pasar. Masihkah kita mau percaya dan berharap?

Wawlahu’alam bi Shawwab 

0 comments: